Login Sekarang

HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSASKSIONAL DENGAN STRESS KERJA KARYAWAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kerja adalah suatu aktivitas dasar dan dijadikan bagian yang esensial dari kehidupan manusia. Kerja juga memberikan status mengikat seseorang pada individu lain serta masyarakat. Pada beberapa orang bekerja merupakan aktualisasi bagi dorongan pemuas ego, melalui kekuasaan dan aktivitas menguasai orang lain. Pekerjaan juga merupakan sumber utama bagi pencapaian status sosial seseorang, (Anoraga,1993:31-33). Namun beragamnya kondisi kerja yang akan ditemui oleh manusia, hal ini dapat menjadikan manusia mengalami berbagai permasalahan. Salah satu masalah yang pasti ditemui oleh seseorang dalam bekerja adalah tidak sesuainya kemampuan kerja dengan tuntutan kerja yang ada. Maka dari itu bekerja dalam artian negatif dapat menimbulkan stres dalam bekerja. Stres kerja ini dapat muncul apabila tidak ada keseimbangan antara faktor manusia dan faktor pekerjaan yaitu mesin dan lingkungan kerja yang kurang mendukung manusia untuk bekerja.salah satu lingkugan kerja yang mempengaruhi seseorang dalam bekerja adalah faktor kepemimpinan dalam suatu organisasi atau perusahaan. Secara umum stres dimaknai sebagai suatu tekanan, yang merupakan akibat dari adanya gangguan baik dari kejadian eksternal maupun internal. Menurut Selye (dalam Smither,1988:400) sumber stres yang dianggap menekan seseorang, dapat menimbulkan reaksi-reaksi fisiologis yang meliputi respon fisik berupa; tekanan darah tinggi, sesak nafas, hipertensi, penyakit jantung, ulcers (puru / nanah dari perut). Dan reaksi-reaksi psikologis yang berupa rasa gelisah, perasaan terancam, frustasi, depresi, kesulitan dalam berkonsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, insomnia ( kesulitan tidur ) dan masih banyak lagi yang lainnya. Sedangkan stres kerja adalah suatu perasaan yang menekan atau rasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaannya yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seeorang dalam bekerja. Stres kerja dapat berpengaruh pada berbagai hal, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hardy dkk (2003: 311) bahwa Psychological Distress berpengaruh pada tingkat absensi atau ketidakhadiran seorang karyawan, dengan korelasi product moment diperoleh p < 0,001. Salah satu penyebab stres kerja adalah faktor kepribadian, tipe-tipe kepribadian tertentu rentan terhadap tekanan yang mencemaskan sehingga individu tersebut mudah stres (Munandar,2001:383). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mawardie (2000:39) yang menunjukkan adanya perbedaan stres yang signifikan ditinjau dari pola prilaku seseorang. Dengan hasil analisis anava AB menunjukkan dalam antar A memperoleh hasil F = 5,807 dan p = 0,021. Pola prilaku A mempunyai stres kerja yang lebih tinggi ditunjukkan dalam rerata tipe A ( 121,857 ) dibanding tipe B ( 109,432 ). Selain itu menurut Mawardie (2000:40) Self Efficacy rendah memiliki stres kerja yang lebih tinggi, hal ini ditunjukkan dengan hasil F = 6,980 dan p = 0,012, dengan rerata self efficacy yang rendah menunjukkan hasil lebih tinggi ( 123,053 ) dibanding self efficacy yang tinggi ( 109,556 ). Sebagaimana penelitian Laila (2004: 35) yang menjabarkan bahwa ada korelasi atau hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kematangan emosi dengan stres kerja yang ditunjukkan oleh F hit = 9,677 > F tab 5% ( 3,94 ) dengan P = 0,003. Hal ini berarti bahwa semakin individu memiliki kematangan emosi maka akan berpengaruh positif terhadap stres kerja individu. Selain itu gaya kepemimpinan juga mempunyai pengaruh terhadap stres kerja sesuai dengan penelitian yang dilakukan Aini ( 2003: 38 ) dengan hasil analisa data mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ada korelasi yang sangat signifikan antara gaya kepemimpinan otoriter terhadap stres kerja karyawan kepribadian tipe A pada karyawan cabang pegadaian di Malang dengan taraf signifikansi 5%. Dari penelitian ini tampak bahwa karyawan menilai gaya kepemimpinan manager mereka otoriter tetapi dalam taraf rata-rata sedang yakni sebesar 44,5%. Distribusi gaya kepemimpinan menunjukkan bahwa sebagaian besar karyawan di Perum Pegadaian cabang X dan cabang Y mempersepsikan gaya kepemimpinan manager adalah otoriter sedang. Dari sini dapat dilihat bahwa adanya hubungan yang sangat signifikan dan positif antara gaya kepemimpinan otoriter dengan stres kerja karyawan. Hal ini berarti semakin otoriter seseorang dalam memimpin, maka stres kerja karyawan akan semakin tinggi. Kepemimpinan transakasional memiliki dua macam yaitu contingent reward dan management by exception yang terbagi dua secara aktif dan pasif (Arnold,1998:339). Berdasarkan penelitian Howell (1999:686-688) memperoleh hasil analisa data, bahwa gaya kepemimpinan contingent reward mempunyai hubungan yang signifikan negatif terhadap performan kerja karyawan dengan koefisien = -0,03, t = -0,34 dan p>0,05. Sedangkan management by exception pasif dan aktif tidak memiliki hubungan yang signifikan negatif terhadap bawahan dengan koefisien = 0,15 dan -0,12, t = 2,78 dan 1,36, p<0,005 dan p>0,05 berturut-turut. LMX (Leader – Member Exchange) memiliki hubungan signifikan positif yang berhubungan dengan kepemimpinan contingent reward (koefisien = 0,45, t = 6,86 dan p<0,005). Hal ini menunjukkan kualitas hubungan pemimpin – bawahan yaitu kepimpinan contingent reward secara signifikan tidak memiliki hubungan positif yang lebih rendah dibandingkan dengan kepemimpinan transformasional t (77) = 0,98, p > 0,05. Hubungan pimpinan – bawahan secara negatif dihubungkan dengan kepemimpinan management by exception aktif – pasif ( koefisien = -0,38 dan -0,35, ts = -8,48 dan -7,46, ps < 0,0005 ). Hasanati (2003:11) membuktikan adanya hubungan antara kepemimpinan transaksional dengan komitmen afektif pada organisasi, yaitu sebesar 0,241% sedangkan jika dilihat dari hubungannya adalah negatif (r = -0.147). Sifat korelasi yang negatif ini mempunyai makna bahwa semakin tinggi kepemimpinan transaksional atasan, semakin rendah komitmen afektif terhadap organisasi bawahan. Analisis korelasi parsial dan analisis regresi bertahap terhadap faktor-faktor kepemimpinan memberikan hasil tidak ada korelasi antara kedua faktor kepemimpinan transaksional yaitu contingent reward dan management-by-exception dengan komitmen afektif karyawan menunjukkan r6y-sisa = -0,106 pada p = 0,172 dan memberikan sumbangan efektif sebesar 0,496%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa yang menyebabkan komitmen afektif organisasi rendah adalah karyawan kurang menghendaki kepemimpinan yang menekankan pada management by exception. Menurut Bycio dkk, (1995:472) adanya hubungan positif contingent reward, dengan t-test untuk dependent korelasional (dfs = 1,357) yang menunjukkan hubungan signifikan yang relatif rendah (ps > 0,001) dibandingkan pertimbangan transformasional. Asosiasi yang siginifikan negatif pada management by exception dengan pengukuran kepuasan. Akhir-akhir ini kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional mulai banyak dibicarakan dan diteliti. Seorang pemimpin dapat saja memiliki aspek-aspek kepemimpinan transaksional tertentu dan aspek-aspek kepemimpinan transformasional tertentu yang menonjol secara bersamaan, pada saat yang sama. Seperti penelitian yang sudah dilakukan oleh beberapa ahli bahwa karyawan dapat memiliki peringkat tinggi dalam bekerja apabila pemimpinnya memiliki kepemimpinan transformasional yang menonjol dibandingkan kepemimpinan transaksional. Setiap individu akan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap stimulus dari lingkungan kerjanya. Adakalanya karyawan akan menerima secara positif kepemimpinan transaksional itu sendiri dikarenakan hakikat kepemimpinan transaksional adalah bawahan akan mendapatkan imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pimpinan, jadi mereka akan merasa puas dengan imbalan yang langsung diterimanya serta adanya penghargaan dari hasil kerjanya tersebut. Namun apabila pimpinan lalai, karyawan juga akan mengalami stress kerja bila apa yang dilakukannya untuk perusahaan tidak sesuai dengan imbalan yang diperolehnya. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan kepemimpinan transaksional dengan stres kerja karyawan, untuk mengetahui sejauh mana kepemimpinan transaksional berhubungan dengan stres kerja karyawan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan antara kepemimpinan transaksional dengan stres kerja karyawan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan transaksional dengan stres kerja karyawan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini nanti diharapkan bermanfaat :
1. Manfaat Teoritis
a. Mampu memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi industri dengan konsentrasi pada bidang psikologi sumber daya manusia.
b. Membantu dalam upaya memantau stres kerja karyawan.
2. Manfaat Praktis
Pimpinan / manajer diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan gaya kepemimpinan yang sesuai bagi karyawannya agar dapat meningkatkan keberhasilan karyawan dan dapat meminimalkan stress kerja sehingga segala aktivitas karyawan atau hasil kerja karyawan dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Belum ada Komentar untuk "HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN TRANSASKSIONAL DENGAN STRESS KERJA KARYAWAN"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel