Login Sekarang

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN PERKAWINAN DENGAN PENERIMAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK AUTIS

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih lanjut diharapkan mengurangi timbulnya masalah-masalah sosial. Upaya-upaya menanggulangi masalah-masalah dalam keluarga sangat penting sehingga upaya ini menjadi tanggung jawab dari suatu instansi atau organisasi. Memahami masalah keluarga didahului dengan pemahaman mengenai konsep keluarga bahagia atau keluarga harmonis. Keluarga bahagia adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik. Keluarga yang tidak bahagia sebaliknya bilamana ada seseorang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan dan keberadaan dirinya terganggu atau terhambat atau mungkin karena disebabkan kehadiran seorang anak yang tidak diharapkan. Kita pahami bahwa seorang bayi yang baru dilahirkan perlu bantuan orang lain agar bisa hidup. Bayi yang baru dilahirkan adalah seorang pribadi yang tidak berdaya dan tergantung sepenuhnya dari orang lain, maka tampak betapa basar pengaruh lingkungan terhadap kehidupan dan perkembangan anak. Dalam perkembangan lebih lanjut yang lebih kompleks, faktor lingkungan khususnya pribadi-pribadi yang dekat dengan anak berkewajiban untuk mengembangkan aspek-aspek kepribadian anak secara menyeluruh tapi harus terpadu agar tidak mengalami keadaan harmonis yang selanjutnya bisa menimbulkan berbagai masalah pada kepribadian dan tingkah lakunya. Masalah tingkah laku pada anak adalah sesuatu yang sulit dihindari, namun sedikitnya bisa diusahakan agar tidak terlalu besar sehingga mempengaruhi kepribadian. Saat ini yang menyangkut tumbuh kembang anak menjadi semakin
kompleks, salah satunya adalah gangguan perkembangan atau autisme masa kanak atau autisme infantile. Menurut Rapin (1991) kejadian autis di seluruh dunia diperkirakan sebesar 5-15 anak per 10.000 kelahiran (Catherine Maurice, 1996). Sedangkan menurut CDC (April 2000), kejadian autisme terdapat pada 1 diantara 250 anak usia 3-10 tahun di Brick Township, AS. Antara 1987-1998, jumlah anak autis yang yang terdapat di Regional Centre in California meningkat 273 %. Diperkirakan terdapat 400.000 penderita autis di AS pada tahun 2000 (svmagazine.com,2000). Akhir-akhir ini di Indonesia diketahui bahwa jumlah anak penyandang autis semakin lama semakin bertambah. Diperkirakan bahwa pada 10 tahun yang lalu jumlah penyandang autis mencapai 1 per 5000 anak sedangkan pada saat ini bertambah menjadi 1 per 500 anak penyandang autis (Melly, 2003: 1). Autis dapat terjadi pada setiap anak tanpa memandang jenis kelamin, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, suku bangsa dan agama. Sebagai orang tua atau calon orang tua, tentunya selalu berharap dianugerahi keturunan yang sehat jasmani dan rohani, sehat jiwa dan raga. Adakalanya keinginan atau harapan kita tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehadiran anak autis dalam suatu rumah tangga sudah tentu akan mempengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga lainnya terutama orang tua . Anak autis lebih membutuhkan perhatian yang lebih banyak dari orang tua, selain itu kehadiran anak autis dapat membawa masalah tersendiri bagi orang tuanya (Leny, 2003: 1). Masalah autis menimbulkan keprihatinan yang mendalam, terutama dari orang tua. Hadirnya anak autis dalam sebuah keluarga, bukanlah suatu yang diharapkan orang tua. Karena kehadiran anak autis menyebabkan beberapa harapan orang tua tidak dapat tercapai, hal itu membuat orang tua mempunyai sikap tertentu terhadap anaknya. Ada orang tua yang merasa putus asa dalam menghadapi anaknya, orang tua yang acuh tak acuh terhadap anaknya, ada orang tua yang dapat menerima keberadaan anaknya, ada pula orang tua yang berpendapat bahwa sebaiknya anaknya dirawat saja di rumah sakit agar tidak mengganggu ketentraman di rumah. Ada juga yang ingin memindahkan anaknya ke kota lain yang jauh dari keluarga, teman-temannya bahkan mungkin orang tua menyalahkan dirinya sendiri serta merasa bahwa karena dialah anaknya mengalami hal tersebut atau mungkin orang tua menyalahkan pasangannya. Gangguan perkembangan pada anak autis dapat dilihat pada saat kita, orang tua, masyarakat atau anak yang normal berinteraksi dengan anak autis tersebut. Menurut kepercayaan sebagian orang, kehadiran anak autis sebagai “pembawa hoki” atau “anak ajaib”, dalam hal ini orang tua tidak bisa mengharapkan suatu keajaiban muncul darinya (Danuatmaja, 2003: 2). Dijelaskan bahwa pengertian autisme itu sendiri merupakan gangguan perkembangan berat yang terutama ditandai dengan gangguan perkembangan sebagai berikut, yaitu keterampilan berinteraksi, kurangnya kontak sosial, keterampilan komunikasi, adanya tingkah laku stereotype, serta minat dan aktivitas yang terbatas. Keterbatasan mereka membuat anak-anak autisme itu seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri (Emmy, 2003: 1). Sedangkan menurut Dr. Leo Kanner (Seorang Dokter Spesialis Penyakit Jiwa) melaporkan bahwa pasien dengan sindroma Autis dia sebut Infantil Autisme. Untuk menghormatinya, autis disebut juga sindroma Kanner. Dengan gejala tidak mampu bersosialisasi, mengalami kesulitan menggunakan bahasa, berperilaku berulang-ulang, serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan yang ada di sekitarnya (Yatim, 2002: 9) Secara fisik anak autis tidak mengalami gangguan dan bahkan bila dilihat sepintas ia tidak berbeda dengan teman-temannya yang normal. Gangguan atau sindroma pada anak autis, hanya dapat dilihat pada saat berinteraksi dengan anak tersebut. Bahkan anak yang menderita autis tampak sekali acuh tak acuh terhadap orang di sekitarnya termasuk ibunya. Autis dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor genetika, atau dalam kandungan terjadi infeksi TORCH (Taksoplasmosis Rubella Cytome Galovirus Herpes) dan faktor lainnya dikarenakan terkena cacar air atau virus yang menjangkit si ibu yang akhirnya mengganggu perkembangan jaringan otak si janin. Dan hal lain yang menyebabkan autis adalah dari kontaminasi logam berat seperti dari makanan ataupun dari vaksinasi yang memakai merkuri (sejenis logam berat) sebagai pengawetnya (Emmy, 2003: 1). Puspita (2003: 09) mengatakan bahwa tidak mudah menjadi orang tua dari anak penyandang autis, berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hati. Hal itu muncul setelah para orang tua membawa si anak pada dokter dan menerima diagnosisnya ketika anaknya dikatakan menyandang autis. Siapapun yang mendapatkan vonis keadaan tidak menyenangkan pasti akan bereaksi, mulai dari tidak percaya, marah, sedih, merasa bersalah dan saling menyalahkan, cemas dan bingung, rasa tidak mau menerima kenyataan tersebut, sampai merasa putus asa dan yang terakhir tapi berbahaya adalah MALU. Ditambahkan pula oleh Bapak (F), reaksi yang pertama kali muncul adalah tak percaya (shock) (Danuatmaja, 2003: v). Ada masa orang tua harus merenung dan tidak mengetahui tindakan apa yang tepat yang harus diperbuat. Tidak sedikit orang tua kemudian memilih tidak terbuka mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga, bahkan keluarga dekat sekalipun, kecuali kepada dokter yang menangani anaknya. Ada juga sebagian kecil orang tua yang kemudian menyalahkan Tuhan dan berpikir kenapa”nasib buruk” itu menimpa diri mereka. Kejadian tersebut sebenarnya tidak diharapkan oleh anak autis. Kehadiran anak yang mengalami gangguan perkembangan dalam sebuah keluarga merupakan kesedihan tersendiri. Seringkali orang tua tidak dapat menerima keadaan anaknya (Lusiati, 2001: 21). Seperti yang tertulis dalam kisah nyata mengenai sikap orang tua dengan kehadiran anak autis dalam rumah tangganya. Seorang Bapak (F) mengatakan ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya menderita autis, ia mengaku shock dan tidak dapat menerima hal itu, ia merasa sedih dan menyalahkan diri sendiri, tetapi karena sang istri dapat menerima hal itu, dan dengan lebih sabar ia membimbing anaknya, akhirnya Bapak F dapat juga menerima kenyataan bahwa anaknya menderita autisme (Danuatmaja,2003: v). Dengan melihat variasi sikap orang tua terhadap anaknya yang menderita autis, ada orang tua yang sama-sama dapat menerima atau sama-sama menolak kehadiran anak autis, ada juga orang tua yang satu dapat menerima keadaan anak autis yang satu menolak. Hal tersebut disebabkan faktor –faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap kehadiran anak autis, kemudian menimbulkan beberapa variasi tingkat penerimaan orang tua terhadap anak autis yang sangat dibutuhkan. Penerimaan dan keikhlasan orang tua benar-benar dituntut untuk mewujudkan “impian” dan “cita-cita” itu, karena anak autis pun mempunyai perasaan dan emosi seperti anak normal. Mereka akan mengetahui apakah mereka disayang dan dimengerti atau tidak. Sebagai orang tua yang melahirkan, mereka harus menerima dengan lapang dada, serta menyayangi dengan sepenuh hati dan apa adanya (Leny, 2003: 3). Menerima keadaan anak secara ikhlas, tepat seperti apa adanya anak tersebut, dapat membantu mengembangkan perubahan anak tersebut dalam memberi kemudahan dalam pemecahan masalahnya dan mendorong usaha menuju kesehatan jiwa yang lebih besar atau belajar lebih produktif ( Lusiati, 2001: 22). Lusiati menambahkan, bahwa orang tua harus benar-benar memperhatikan perkembangan anaknya, terutama anak autis yang sangat membutuhkan perhatian yang khusus untuk kemajuan perkembangan bahasanya, karena bahasa memungkinkan untuk bisa berhubungan dengan orang lain. Keterlambatan berbicara pada anak itu terletak pada kelalaian orang tua dalam mengikuti perkembangan anaknya, orang tua tidak tanggap akan kebutuhan anak terhadap rangsangan-rangsangan. Pendekatan orang tua serta keaktifan orang tua dalam kemajuan perkembangan anak selanjutnya sangat dibutuhkan. Dalam hal ini ibu merupakan tokoh yang sangat berperan, hal ini dikarenakan mereka berperan langsung dalam kelahiran anak. Penerimaan ibu serta anggota keluarga terhadap anak autis akan sangat membantu dalam proses penyembuhanya. Keharmonisan perkawinan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penerimaan orang tua terhadap anak autis, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa hendaknya dengan adanya keharmonisan yang dialami oleh keluarga khususnya pasangan suami-isti, akan saling menguatkan pasangan untuk menghadapi setiap permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk di dalamnya kehadiran anak autis. Keharmonisan perkawinan adalah tinggi rendahnya keselarasan yang tercipta dalam kehidupan pasangan suami istri dalam bidang komunikasi, penyesuaian diri dan saling pengertian, sehingga tercipta kebahagiaan yang ditandai dengan berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial (Gunarsa, 2000: 209). Adanya keharmonisan dalam suatu perkawinan yang ditandai dengan adanya keterbukaan serta komunikasi antara pasangan akan membuat pasangan saling mengerti apa yang dirasakan oleh masing-masing pasangan. Sehingga pasangan dapat saling menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi karena adanya masalah dalam perkawinan yaitu hadirnya anak autis. Dengan keharmonisan perkawinan yang dirasakan oleh pasangan akan membuat pasangan saling melengkapi dan saling menguatkan jika ada persoalan, hal ini membuat pasangan pasangan tidak merasa seorang diri dalam menghadapi masalah. Adanya perasaan dari pasangan bahwa ada “orang lain” dalam hal ini pasangan yang membantu menyelesaikan masalahnya akan membuat masing-masing pasangan lebih realitas dan rasionalis dalam menghadapi kenyataan yang dialami. Adanya perasaan realistis dan rasionalis ini akan membuat pasangan lebih dapat menerima keberadaan anaknya. Melalui penelitian pada sekolah khusus anak autis di Mojokerto, peneliti ingin mengetahui hubungan keharmonisan perkawinan dan penerimaan orang tua terhadap anak autis. Penelitian ini sangat penting artinya mengingat saat ini gangguan perkembangan atau autis kurang mendapat tanggapan dari orang tua atau masyarakat, bahkan dari pemerintah sehingga dengan melihat latar belakang masalah di atas peneliti sangat tertarik untuk mengamati hubungan keharmonisan perkawinan dengan penerimaan orang tua terhadap anak autis dalam sebuah keluarga.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara keharmonisan perkawinan dengan penerimaan orang tua terhadap anak autis?”
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui hubungan antara keharmonisan perkawinan dengan penerimaan orang tua terhadap anak autis.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi atau masukan yang bermanfaat di bidang psikologi khususnya pada bidang psikologi perkembangan.
2. Praktis Sebagai sumbangan pemikiran pada orang tua yang baru menyadari bahwa anaknya mengalami gangguan perkembangan atau autis dan juga tentang pentingnya hubungan yang harmonis antara suami-istri dalam menghadapi masalah dalam rumah tangga. Serta sebagai sumbangan pemikiran bagi sekolah atau yayasan khusus anak autis agar dapat memberikan input yang baik mengenai pendidikan dan pengetahuan serta terapi pada anak autis itu sendiri juga pada orang tua anak tentang pentingnya perhatian dan kasih sayang mereka dalam sebuah keluarga.

2 Komentar untuk "HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN PERKAWINAN DENGAN PENERIMAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK AUTIS"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel