Login Sekarang

HUBUNGAN KEMANDIRIAN DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG YANG BEKERJA DI SEKTOR NONFORMAL

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang

Era globalisasi dicirikan dengan perdagangan bebas atau pasar bebas, dan kemajuan teknologi telah menghasilkan agama baru yang disebut sebagai materialime yang menjurus pada pola hidup konsumtif (Herlianto, 1997: 174).
Perilaku konsumtif erat kaitannya dengan budaya barat, yaitu peradapan yang menyajikan berbagai bentuk kesenangan (entertaiment) dan kenikmatan (hedonisme).
Membanjirnya barang-barang di pasaran mempengaruhi sikap seseorang terhadap pembelian dan pemakian barang. Seringkali juga dipengaruhi oleh sugesti dari iklan yang cenderung kurang realistis. Pembelian suatu produk bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan (need), melainkan karena keinginan (want).
Orang tua lebih mau membelikan televisi dari pada buku untuk anaknya. Mereka lebih memilih membeli berbagai peralatan rumah tangga dari pada memberikan pengetahuan pendidikan kepada anaknya. Di kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama dikota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka membeli produk tidak lagi karena memang membutuhkan, tetapi dilakukan dengan alasan-alasan lain seperti mengikuti mode yang sedang beredar, hanya ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial dll.
Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja menjadi masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja ini dilakukan secara berlebihan. Perilaku konsumtif remaja bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar potensial. Karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, ikut-ikutan teman, tidak realistis dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya (Tambunan, 2001: 1). Berdasarkan hasil polling Bestari (Januari 2003: 10), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang membelanjakan 27% dari uang sakunya perbulan, kehal-hal yang bersifat rekreatif (jajan, jalan-jalan, traktir pacar) atau kebutuhan untuk membeli pakaian, kosmetik dan membeli pulsa HP. Sehingga dapat dikatakan mahasiswa adalah bagian dari masyarakat konsumen yang mengkonsumsi suatu produk atau jasa.
Perilaku konsumtif dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Gaya hidup konsumtif harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar terjadi apabila pencapaian tingkat finansial dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Beberapa remaja mungkin akan menggunakan uang sakunya untuk melakukan pembelian atau minta uang pada orang tuannya dan mungkin bagi beberapa remaja akan menjual diri atau bahkan mencuri (Djudiyah & Hadipranata, 2002: 63) dan termasuk pola bekerja yang berlebihan sampai korupsi (Tambunan, 2001: 2). Gaya hidup dalam keluarga akan mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku manusia terutama yang ditanamkan orangtua, akan dianut oleh anak, karena anak pertama kali mengenal lingkungan sosial adalah lingkungan keluargannya sendiri, dalam hal ini adalah orangtua sangat mendominasi dalam mempengaruhi sikap hidup anak. Oleh karena itu remaja cenderung mempunyai sikap hidup yang sama dengan orangtua mereka (Swastha & Handoko dalam Mahdalela, 1998: 46).
Dalam surat Al-Maidah ayat 87, diterangkan bahwa ”Hai, orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan (memakan) yang baik-baik, yang telah dihalalkan Allah bagimu (memakannya) dan janganlah kamu melampaui batas”. Misalnya sebagai ilustrasi, seseorang memiliki penghasilan Rp. 500 ribu. Ia membelanjakan Rp. 400 ribu dalam waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sisanya Rp. 100 ribu ia belanjakan sepasang sepatu yang sebenarnya tidak ia butuhkan (apalagi ia membeli sepatu Rp. 200 ribu dengan kartu kredit), maka ia dapat disebut berperilaku konsumtif (Tambunan, 2001: 1). Berbicara mengenai perilaku konsumtif maka sangat erat kaitannya dengan aktivitas yang disebut belanja. Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun di dalam rumah tangga.
Namun kata yang sama telah berkembang artinya sebagai suatu cermin gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Belanja juga punya arti tersendiri bagi remaja (mahasiswa). Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (1998), perilaku konsumtif adalah kecenderungan manusia untuk melakukan konsumsi tidak ada batasnya, lebih mementingkan keinginan dari pada kebutuhan, pada saat memiliki uang untuk membeli macam-macam kebutuhan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pokok. Remaja akan membeli dan menggunakan produk atau jasa untuk mengekspresikan, memelihara dan meningkatkan identitas dirinya orang lain, karena produk atau jasa mempunyai makna simbolis dan ekspresif.
Nitisemito (1981: 119), menyatakan bahwa rasa harga diri, ikut-ikutan, tidak mau kalah dan sebagainya, merupakan dorongan-dorongan yang dapat menimbulkan keputusan-keputusan dan pembelian suatu produk dan jasa.
Mereka akan cenderung konsumtif karena menganggap bahwa kebahagian dan kesuksesan (Toffler) bisa diperoleh dan diukur dengan memiliki produk-produk terbaru yang ditawarkan (Rose ini, 2000).
Kebanyakan pakar ekonomi (Mc. Carthy & Perreoult, 1995: 198), mengasumsikan bahwa konsumen merupakan pembeli ekonomis (economic buyers) orang yang mengetahui semua fakta dan secara logis membandingkan pilihan yang ada berdasarkan biaya dan nilai (manfaat) yang diterima. Lepas dari adanya kekuatan perangsang yang tersembunyi, rata-rata konsumen itu adalah orang yang mempunyai common sense dan intelegensi tinggi.
Pada umumnya pembeli mengetahui apa yang di inginkan dan ia mempunyai attitude sendiri dan nilai-nilai sendiri, keinginannya untuk membeli mungkin menurun meskipun incomenya dan daya penghasilanya tinggi (Anwar, 1985: 173). Mereka yang berpendapatan tinggi, boleh dikatakan mendekati kekenyangannya, sehingga tambahan pendapatan itu akan lebih banyak digunakan untuk memperbesar tabungannya.
Menurut hasil penelitian Supriyadi (2002: 57), bahwa mahasiswa yang bekerja pada sektor nonformal menjadi lebih mandiri, mereka terbiasa untuk mencari cara atau pemecahan masalah secara kreatif, berfikir bagaimana cara dapat berhasil dalam karir mereka, dan cenderung untuk memiliki aktivitas lebih dinamis, aktif. Mahasiswa yang bekerja biasanya melakukan pekerjaan hanya didasari pada faktor kesempatan yang ada. Mereka berfikir bahwa dengan mereka tidak mengambil kesempatan yang ada, walaupun sekecil apapun tidak akan ada lagi kesempatan yang kedua. Mereka kebanyakan menganggap bekerja adalah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa hanya untuk mencari teman, mencari tempat bergaul, dan mencari kesibukan dikala senggang.
Miller & Form (dalam Anoraga, 1992: 14), menyatakan bahwa motivator untuk bekerja tidak dapat dikaitkan hanya pada kebutuhan-kebutahan ekonomis belaka, sebab orang tetap akan bekerja walaupun mereka tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat materiil.
Berdasarkan hasil penelitian Glock (dalam Mahdalela, 1998: 40), diketahui bahwa konsumsi yang berlebihan sangat ditentukan oleh sikap mudah terpengaruh oleh kelompok referensi. Kekuatan pengaruh tersebut berkaitan dengan ciri-ciri sifat kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing individu. Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangannya, dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berpikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap. Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusan sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan Riesmen (1950: 53), menyebutkan sebagai “inner directed person” suatu kemampuan untuk tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan dan pikiran orang lain dalam kehidupan kelompok. Sekalipun mahasiwa sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan psikis, namun ketergantungan ekonomi masih ada, karena pada umumnya belum berpenghasilan. Kelonggaran untuk mempergunakan uang tidak sebebas tingkah laku dan sikapnya bisa menentukan sendiri (Gunarsa & Gunarsa, 2000: 133). Pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya.
Sehingga pekerjaan merupakan komponen pendukung dari tahap perkembangan manusia. Minat yang paling penting dan paling universal remaja masa kini salah satunyanya minat pada pekerjaan (Hurlock, 1980: 221).
Sebagai remaja yang masih ikut orang tua, yang penting baginya adalah mendapat uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri, apakah dengan bekerja sendiri atau memperoleh dari orang tuanya. Lapangan pekerjaan pada masa sekarang ini banyak yang ditempati remaja, mereka masih berstatus mahasiswa pada sebuah perguruan tinggi. Mereka yang bekerja umumnya sebagai pekerja sambilan (part-time worker), tetapi ada juga yang telah memiliki suatu pekerjaan yang relatif tetap. Setelah melepaskan diri dari ketergantungan emosional dengan orang tua atau orang dewasa lain, tugas yang menanti remaja adalah melepaskan diri dari ketergantungan finansial dari mereka. Pada mahasiwa yang bekerja dengan sendirinya menciptakan keadaan ekonomi atau memperoleh berpenghasilan bagi diri mereka dengan lebih baik. Mahasiswa yang bekerja dan studinya lancar ditambah lagi orangtua cukup mampu membiayai, masalah keuangan tidak banyak timbul, mereka mendapatkan pendapatan ganda masing-masing dari uang saku yang diberikan orang tuanya dan penghasilannya dari bekerja. Kemandirian ekonomis tidak dapat dicapai sebelum remaja memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja (Hurlock, 1980: 209).

Kemandirian merupakan kemampuan yang dimilki oleh individu untuk mengurus dirinya sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah lakunya dalam melaksanakan kewajiban guna memenuhi kebutuhanya sendiri (Kartono, 1990: 246).
Berangkat dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti ingin mengetahui “Hubungan Kemandirian Dengan Kecenderungan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Yang Bekerja Di Sektor Nonformal”.


   2. Rumusan Masalah

    Dari uraian diatas diambil permasalahan mengenai apakah ada hubungan kemandirian dengan    kecenderungan perilaku konsumtif pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang bekerja di sektor nonformal
3.Tujuan Penelitian
 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kemandirian dengan kecenderungan perilaku konsumtif pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang bekerja di sektor nonformal.
4. Manfaat Penelitian
     
    1. Manfaat secara teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan, masukan dan informasi yang berarti bagi perkembangan Psikologi, khususnya Psikologi Sosial dan Psikologi Konsumen.
    2. Manfaat secara praktis
       1. Bagi orang tua
            Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada orang tua akan perlunya pendidikan              kemandirian  yang diberikan sejak dini kepada putra dan putrinya.
         2. Bagi remaja
Dapat memberikan wawasan kepada remaja (mahasiswa) perlunya hidup mandiri.

Belum ada Komentar untuk "HUBUNGAN KEMANDIRIAN DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG YANG BEKERJA DI SEKTOR NONFORMAL"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel